Halaman

Sabtu, 26 Juli 2014

Balek Kampong

oleh Ary Sastra

Hari Raya Idul Fitri tinggal beberapa hari lagi. Hampir semua rekan kerjaku sudah bersiap-siap mudik, berlebaran bersama sanak  keluarganya di kampung halaman.

"Eh Leman, kamu tidak pulang kampung? Kalau tidak, ayo berlebaran di Jawa aja, di kampung saya," ujar Parto, rekan kerjaku sesama mualim di Kapal Kargo Tanjung Sauh.

Aku hanya tersenyum. Menolak secara halus tawaran Parto. "Lho kok senyam-senyum wae. Sampeyan gimana sih. Siapa tau di sana ada cewek cantik yang kecantol sampeyan," ujarnya sambil menepuk-nepuk pundakku.

"Makasih bos. Sebetulnya di sini adalah kampung saya. Jadi saya tidak perlu repot-repot seperti sampeyan, kemas-kemas barang. Lagian kapal kita cukup lama naik dok. Ada waktu sebulan buat kita untuk pulang kampung," tukasku tertawa renyah.

"Oh ternyata sampeyan orang sini toh. Orang Tanjungpinang rupanya. Baiklah kawan, kalau gitu saya pamit dulu. Oh ya karena sampeyan tetap di sini, tolong liat-liat juga kapal kita selama naik dok," pintanya sambil menggenggam erat tanganku.

Begitulah seterusnya. Satu persatu rekan kerjaku berpamitan. Tinggallah aku sendiri, sebagai penghuni mess PT Alang Samudera ini.

Meski sendiri, sebetulnya aku bersyukur. Sebab, kalau masih ada teman yang tinggal di mess, tentulah aku harus berbasa-basi mengajaknya berlebaran ke kampungku, ke rumahku, berjumpa dengan sanak keluargaku.

Nah kalau ia bersedia, aku pasti kelabakan. Aku akan kebingungan sendiri menunjukkan kampungku.

"Oh tidak!! bisik hati kecilku. Bukan berarti aku pelit, atau tertutup. Sekali lagi tidak. Tetapi kata-kata "Kampung" bagiku tidak sama dengan yang mereka bayangkan. Kampungku, tidak ada pohon, jalanan, lapangan sepakbola, sawah, ternak, rumah penduduk, bahkan tiang listrik sekalipun.

Aneh memang. Tapi begitulah kampungku, hanya laut. Kami sudah terbiasa hidup di atas kajang, perahu kecil. Orang-orang biasa menjuluki kami sebagai orang sampan, atau orang laut.

Dulu, sewaktu masih bekerja sebagai kuli di Batam, aku pernah mengajak teman ke kampungku. Sengaja aku sewa sebuah perahu untuk mengitari pulau-pulau kecil yang ada di sekitar Pulau Bintan. Hampir seharian kami berkeliling dan menghampiri setiap rombongan perahu kecil untuk menemukan kerabatku.

"Man, sebenarnya kita ke mana sih? Masih jauh gak kampungmu. Perasaan dari tadi kita putar-putar aja? Tanya Sutar kepadaku penuh selidik.

"Sabar kawan, sebentar lagi kita sampai," bisikku menenangkan Sutar. Sebenarnya aku juga bingung bagaimana cara menerangkan kondisi kampungku yang sebenarnya kepada Sutar.

Dalam hatiku, Sutar pasti kaget saat melihat kampungku, rumahku, apalagi kehidupan kami sebagai orang laut yang tinggal bertahun-tahun di atas perahu.

Dugaanku ternyata tidak meleset. Begitu melihat, perahu Kajang milik bapakku, aku segera memberitahukan Sutar. "Kita dah sampai Tar. Inilah kampungku. Nah yang itu rumahku," ujarku sambil menunjuk serombongan perahu kecil, di sekitar Pulau Mantang, Kabupaten Bintan.

"Ah yang benar saja Man. Itu rumahmu? Ini kampungmu? Tanya Sutar dengan nada tak percaya.

"Iya. Itu rumah dan kampungku. Ya laut inilah. Kami tidak perlu rumah yang permanen. Tidak butuh sertifikat tanah, cukup dengan sebuah perahu kecil ini saja. Selamat datang di kampungku Sutar. Silakan naik ke rumahku kawan," ujarku sambil merapatkan perahu yang kutumpangi ke perahu keluargaku.

Sutar kelihatan ragu. Matanya penuh selidik menatapku. Aku kembali tersenyum seakan meyakinkannya.

Sutar akhirnya berdiri melompati perahu keluargaku. Tubuhnya sempoyongan, saat melangkah karena perahu yang kami tumpangi sedikit oleng dialun gelombang.

"Hati-hati kawan. Tak perlu buru-buru. Melangkah saja dengan tenang. Kalau jatuh, pasti juga ke laut," selorohku kepadanya.

Sutar memmelototkan matanya ke arahku. Wajahnya terlihat cemas. "Engkau jangan bercanda Man. Aku tak pandai berenang nih," tukasnya.

Sutar baru terlihat tenang, setelah berhasil memasuki perahu kajang milik keluargaku. Bapak dan Mamakku menyambutnya dengan senyum. Tiga orang adikku, yang masih kecil-kecil terlihat asyik menonton televisi sambil tidur-tiduran.

"Aih, ade kemajuan rupenye. Dah ade tipi di kajang nih," ujarku sambil melirik antene tipi yang menjulang sekitar lima meter di atas atap kajang.

"Aoklah. Tipi tuh hadiah dari toke Aleng. Hadiah buat bapak engkau karena telah menyembuhkan anaknya," terang Mak sambil membuatkan teh panas untuk kami berdua.

"Emang anaknye sakit ape Mak? Tanyaku dengan penasaran.

"Biasalah Man, anaknye kesampok mambang laut kat kampong bugis sane," jelas Mak sambil menghidangkan dua gelas teh ke hadapan kami.

Sementara itu Sutar asyik memperhatikan keadaan di dalam perahu kajang keluargaku. Matanya menelusuri kabel yang terdapat di tipi. "Oh tipinya pakai aki rupanya Man," ujarnya sambil tersenyum padaku.

Leher Sutar memanjang seakan melongok ke arah dapur yang terdapat di belakang kajang. "Masak pakai kayu ya Man? Tanya Sutar kepadaku.

"Ya. pakai kayu arang," ujarku singkat.

Percakapan kami terhenti, karena bunyi telepon genggam yang terletak di atas tipi. Aku hanya terpana, memperhatikan bapakku menjawab telepon. "Luar biasa, sekarang orang laut sudah banyak kemajuan," batinku.

"Oh ya toke, sekarang sedang musim angin utara, jadi agaK susah nyarinya. Nantilah, kalau ade saye akan kasih tau toke," jawab Bapakku sambil menutup teleponnya.

"Emang kat laut sini ada sinyal Pak? Tanyaku kepada bapak.

"Tergantung. Kadeng ade, kadang tidak. Tergantung angin juga kayaknye sinyal telepon tuh," jawab Bapak dengan dingin.

Aku tahu, Bapak masih marah kepadaku. Buktinya, sejak kedatanganku, tidak sedikitpun ia tersenyum kepadaku dan menanyakan keadaanku. Padahal aku sudah pergi merantau ke daratan lebih dari tiga tahun. Tidak adakah sedikit rindu atau kasih sayang dari seorang bapak kepada anaknya?

Tapi bapakku adalah seorang yang keras. Seorang pelaut yang tidak mudah menyerah kepada dalamnya laut dan tingginya gelombang.

Menurut Bapak, aku tidak lagi setia kepada nilai-nilai dan ajaran nenek moyang kami. "Kite ni orang laut. Ya harus hidup di lautlah," begitu nasihat bapak saat aku berniat merantau ke Batam.

Bagi kami, orang laut, daratan adalah tempat yang penuh dengan kotoran. "Engkau tau tak, berape banyak sampah dan kotoran yang berasal dari daratan dan dibuang kat laut ni. Sampai kat laut yang asin ni, semuenye jadi jadi hancur," terang bapak berapi-api kepadaku.

Menurut kebiasaan, orang laut turun ke darat hanya untuk mendapatkan kebutuhan makanan dan air bersih. Selain itu juga untuk menguburkan kalau ada anggota keluarga atau kerabat kami yang meninggal.

Kepergianku untuk merantau ke daratan telah membuat bapak tersinggung. Apalagi ia merupakan seorang batin, orang yang dituakan di rombongannya.

Orang suku laut, memang terbiasa hidup berpindah-pindah secara berombongan. Satu rombongan bisa terdiri dari tujuh sampai lima belas perahu. Tentunya bapak akan merasa malu kepada anggota rombongannya.

Dulu memang pernah orang laut ditempatkan di sejumlah perkampungan. Pemerintah malah menyediakan rumah di sekitar pesisir pantai untuk ditempati.

Kami, orang laut dianggap sebagai suku yang termarginalkan. Untuk itu pemerintah perlu melakukan pembinaan dengan cara melokasir orang laut pada tempat-tempat tertentu.

Sejak saat itu, mulailah orang laut hidup berdampingan dengan orang darat. Termasuk aku tentunya, bisa bersekolah di Pulau Ngenang.

Namun upaya pemerintah tersebut tidak bertahan lama. Kami masih menggantungkan hidup dari laut. Sementara untuk bersaing dengan orang daratan, di bidang perdagangan, jasa, atau pemerintahan, jelas kami tidak mempunyai kemampuan.

Bila musim utara, orang laut terpaksa bertandang, mencari ikan ke tempat-tempat yang jauh. Mereka biasanya membawa serta istri dan anak-anaknya. Dan hal tersebut berlangsung lama, hingga berbulan-bulan.

Akibatnya, aku dan anak-anak suku laut lainnya harus putus sekolah. Kebanyakan dari kami hanya sebatas bisa menulis, berhitung dan membaca saja.

"Sudahlah. Engkaukan sudah bisa menulis dan membaca. Untuk ape susah-susah. Laut telah menyediakan segalenye," nasihat bapakku saat itu.

Tiba-tiba lamunanku buyar saat Sutar mencolek pinganggku. "Engkau memang keterlaluan Man. Sampai hati engkau biarkan orangtua dan adik-adikmu hidup di laut seperti ini," bisiknya ke telingaku.

Perkataan Sutar itu sampai saat ini masih tergiang di telingaku. Apalagi setelah mendengar kabar, kajang milik bapakku hilang ditelan gelombang di sekitar berakit enam bulan yang lalu.

Rinduku menggumpal bak gelombang menerjang dadaku. "Mak aku nak balek kampong, kat laut sane," teriakku memecah keheningan malam.(arysastra)