Halaman

Sabtu, 25 Januari 2014

Tukang Saluang (By : Ary Sastra)

Kudun namanya. Kerjanya hanya menghabiskan hari dari lepau ke lepau. Tiada bosan-bosannya ia mengumbar rencana hendak berangkat ke Amerika. Namun orang kampung tiada satupun yang percaya. Mereka hanya tersenyum sinis.

Menurut mereka, rencana itu sesuatu hal yang mustahil. Tak mungkin seorang Kudun, yang tidak tamat SMP itu bisa ke negeri Paman Sam. "Dun...Kudun, wa ang sadang berasian. Mimpi di tengah hari. Ibarat pungguk merindukan bulan, tapi sayang sudah digunggung matahari," sorak Pirin dari pojok lepau Mak Katik.

Seluruh penghuni lepau gelak terkakah. "Oi Kudun, emang waang sudah bisa bahaso urang Amerika tuh," celetuk Mak Kutar menimpali.

Tapi Kudun seakan tak peduli. Ia tetap bercerita. Orang-orang bosan. Satu persatu mulai angkat kaki dari lepau Mak Katik. Bila tak ada lagi orang yang menanggapi ceritanya, ia akan beralih meniup saluang yang selalu dibawanya ke mana pergi. Bagi Kudun, saluang merupakan bagian yang terpisahkan dari dirinya.

Setiap ada kesempatan, Kudun pasti memainkan saluangnya. Jari-jarinya lincah bermain, menutup dan membuka empat lubang yang terdapat di sepotong bambu sepanjang 30 sentimeter itu. Mulutnya dan kepalanya sedikit dimiringkan saat meniup saluang. Kepalanya kadang terangguk-angguk mengikuti irama yang keluar dari alat tiup. Kalau sudah begitu, mata Kudun akan terpejam-pejam. Kudun seakan hanyut dalam alunan saluangnya.

Selama ini, Kudun memang sering diundang untuk mengisi hiburan saluang pada acara perkawinan atau perhelatan. Namun undangan itu hanya sesekali saja, tidak rutin.

Bila  mendapat undangan, Kudun akan berkoar-koar di Lepau Mak Katik, layaknya seorang artis. "Besok malam ambo berangkat, ada show saluang di Bukittingi. Tempatnya mungkin di Hotel berbintang. Tamu-tamunya juga mungkin dari luar negeri," ujarnya membanggakan diri.

Padahal tiada satupun orang di Lepau Mak Katik yang bertanya kepadanya. Orang-orang yang mendengarkan cuma mengangguk-angguk. Sebagian diam, sebagian tersenyum masam. Bagi mereka saluang hanyalah bagian dari masa lalu.

Tapi bagi Kudun, respon yang demikian sudah cukup. Ia tidak butuh tanggapan. Itulah Kudun. Seorang tukang saluang tradisional.

Meski hanya tukang saluang tradisional, Kudun bersikap profesional. Sehari menjelang acara pertunjukan, Kudun akan menggosok-gosok atau meraut-raut saluangnya.

Konon, Amaknya, Etek Sini, sudah bosan melihat perangai anaknya itu. Pernah suatu ketika, Etk Sini berang dan mematah-matahkan saluang si Kudun. Menurutnya bermain saluang itu tidak ada manfaatnya, hanya membuang-buang hari saja. "Rancak waang ke sawah lagi, daripada meniup niup saluang tak keruan tuh!" pekik Etek Sini pada anak bujangnya.

Kudun tidak peduli. Nasehat Amaknya, dianggap angin lalu. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.

Meski demikian Kudun tidak pernah membantah atau menjawab perkataan Amaknya. Sebagai orang tradisi, ia masih memegang teguh prinsip agama dan adat istiadat di Kampungnya. Pantang baginya untuk melawan orangtua. Jurus ampuhnya adalah diam, dan cepat-cepat angkat kaki dari hadapan Amaknya.

Bila sudah demikian, Etek Sini akan diam. Wajahnya rusuh, memikirkan nasib anaknya yang tidak jelas ujung pangkalnya itu. "Kudun, Kudun, mau jadi apalah waang," keluhnya.

Pagi sekali, Kudun sudah duduk di palanta lepau Mak Katik. Di bahunya tergantung sebuah tas kecil. Dua buah saluang terselip dari balik kain sarung yang melilit pinggangnya. Tiap sebentar matanya melirik ke arah jalan, seperti menunggu sesuatu.

Orang-orang heran. "Oi Kudun, waang hendak ke mana pagi-pagi begini," tanya Mak Sutan.

"Menunggu jemputan Mak. Nanti malam ada show saluang di Bukitinggi. Tolong doakan ya Mak, semoga show saya kali ini sukses," ujarnya bangga.

Mak Sutan tersenyum tipis. "Oh cuma show saluang. Emang masih ada yang menonton saluang ya?" tanya Mak Sutan sinis.

Kudun tak menjawab. Perhatiannya lebih tertuju pada sebuah mobil yang berhenti di depan Lepau Mak Katik. Sebuah suara memanggilnya. "Ayolah Kudun, cepat naik!"

Tanpa mempedulikan orang-orang di Lepau Mak Katik, Kudun bergegas menghambur ke dalam mobil yang menjemputnya itu. Orang-orang hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan si Kudun.

Sejak kepergiannya itu, Kudun tidak pernah lagi kembali ke kampungnya. Menurut Amaknya, Kudun pernah berkirim surat. Dalam suratnya itu Kudun mengatakan sedang aktif mempromosikan saluang di Jakarta.

Orang kampung heran. Terlebih lagi saat mendengar kata "promosi saluang." Setahu mereka, saluang bukanlah produk terbaru, produk mewah yang perlu promosikan. "Ada-ada saja ulah si Kudun tuh. Saluang sampai dipromosi-promosikan," celetuk Ajo Tandan di Lepau Mak Katik.

Malam itu orang-orang di lepau Mak Katik sedang ramai. Mereka duduk bergerombol di depan tivi menunggu pertandingan bola, Barcelona melawan Real Madrid. Menjelang jadwal pertandingan dimulai, mata penghuni Lepau Mak katik terbelalak, di layar kaca itu terpampanglah gambar si Kudun sedang bermain Saluang. Di sampingnya duduk seorang wanita berambut pirang, dengan fasih menyanyikan lagu "Kutang Barendo" sambil memukul-mukul gendang.

Lepau Mak Katik hening seketika. Ada yang tak percaya, lalu menggosok gosok matanya. Ada pula yang mulutnya ternganga. Lalu bak suara lebah berdengung, berbagai komentar dan tanggapan berserabut di angkasa.

"Ondehh..hebat si Kudun kini. Sukses juga show saluangnya, sampai masuk tivi," tukas Pirin.

Hari-hari berikutnya, Kudun mulai menjadi buah bibir pembicaraan bagi warga kampung Taratak. Para pemuka adat, ninik mamak dan cadiak pandai ikut pula memberikan tanggapan terhadap kiprah si Kudun. Kudun dianggap berjasa, telah membangkit batang terendam, mengharumkan nama Kampung Taratak.

Kedatangan Kudun mulai ditunggu-tunggu oleh warga Kampung Taratak. Bahkan, mereka telah mempersiapkan upacara penyambutan terhadap Kudun.

Ibu-ibu yang dulu memandang sebelah mata terhadap Kudun sekarang sudah mulai menyorong-nyorongkan anak gadisnya kepada Etek Sini, Amak si Kudun. Begitu juga para pemuda di Kampung Taratak mulai beralih ke saluang. Mereka mengharapkan kelak bisa mengikuti jejak si Kudun, sampai masuk tivi.

Konon kabarnya, si Kudun sampai juga menjejakkan kakinya di negeri Paman Sam. Ia diundang untuk mengajarkan saluang kepada para mahasiswa di sana. Selamat ya Dun.....(***)

Rabu, 22 Januari 2014

Isak Menggenang


serintik hujan, menderai malam
gemerciknya bagai tangis tak berkesudahan
berapa tempias lagi yang mesti kutanggungkan
sedang di dada : isakku sudah menggenang.....

Pamulang, 21 Januari 2014

Keluh Kesah

Selain malam, mimpipun tak singgah
disini: hanya lengang yang berkeluh-kesah
tentang doa yang beku
sebelum embun luruhkan dinihari
"Tuhan lelapkan aku di langitmu"

Pamulang, 19 Januari 2014

Tinggal Genangan

jangankan hujan
rinaipun aku tak tahan
biar derai aku tanggungkan
walau tinggal genangan :
di matamu....

Pamulang, 20 Januari 2014

Kamis, 02 Januari 2014

Ary Sastra (Baca Puisi)


Menjemur Nasib

di terik siang
kujemur nasib yang basah
oleh airmata....

Pamulang, 26 Desember 2013

Berteduh di Matamu

menunggu hujan
biarkan aku berteduh
di matamu

Pamulang, 26 Desember 2013

Ujung Kurun

inilah ujung kurun itu
tempat kita dikutuk waktu
karena durhaka pada hari lalu

di ujung kurun itu
kita telah jadi piatu
dan membatu....

Pamulang 31 Desember 2013

Selembar Malam

pada selembar malam
telah kutuliskan
dan kuselipkan
mimpi itu

Pamulang, 16 Desember 2013

Hijrah

hijrah ini sampai waktunya
sunyi, tanpa terompet ataupun pesta kembang api
tidak juga basa-basi maupun dansa-dansi

hijrah ini kini jadi api
untuk membakar janji
yang tak sempat ditepati
tinggallah diri......

pamulang, 14 November 2013

MengingatNya

bila masih ada waktumu
sisakan sedikit untuk mengingatNya
bukan aku.....

pamulang, 15 November 2013

Muara Penantian

duhai yang tiada awal
engkaulah tempatku berakhir
muara segala penantian
lalu sunyi
dan waktu perlahan berhenti....

pamulang, 10 November 2013

Sunyi Jua

telah kulalui senja
kelam jua ujungnya
telah kusibak malam
sunyi jua kesudahannya

Pamulang, 22 Agustus 2013

Menimang Rasian

ingatlah...
sekelam apapun malam
ia masih menyimpan rasian
untuk kita timang
jadi bunga kehidupan

Pamulang, 21 Agustus 2013