Halaman

Sabtu, 09 Agustus 2014

Bujang Lepok

By : Ary Sastra

Mata Ajo Kutaik seakan hendak terbudur, meloncat keluar, saat melihat kemenakan yang dia bangga-bangkan itu ternyata hanya menjual cendol di Jakarta. Seakan tak percaya, berulang kali digosok-gosok matanya. Mungkin ia salah lihat. Tapi tidak salah lagi. Penglihatannya masih normal. Lelaki yang sedang asyik menungkus cendol itu adalah kemenakannya, Bujang Lepok.

Mulut Ajo Kutaik langsung ternganga. Tubuhnya menjadi lemas seketika. Ia tidak menyangka Bujang Lepok bekerja seperti itu. Sepengetahuannya, Bujang Lepok sedang bersitungkin menyelesaikan skripsi sarjananya.

Namun kini kenyataannya? Ia menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri, Bujang Lepok sedang menjual cendol.

Harapan Ajo Kutaik punah seketika. Padahal, ia telah berencana untuk menjodohkan anak gadisnya, Rapiah dengan Bujang Lepok jika  berhasil menjadi sarjana. Makanya ia rela mengirim uang buat biaya kuliah Bujang Lepok setiap bulannya.

Tapi sekarang rencana Ajo Kutaik itu buyar seketika. Tidak mungkin ia menikahkan anak gadisnya dengan Bujang Lepok yang hanya menjual cendol itu. Ke mana mukanya akan disurukkan di hadapan orang kampungnya. Apalagi, ia adalah seorang Sidi, keturunan bangsawan, kaum terhormat di kampungnya.

Sambil memperhatikan tingkah Bujang Lepok, Ajo Kutaik menyelinap di antara gerobak pedagang kaki lima yang terdapat di depan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta itu. Sengaja ia pura-pura minum kopi di sebuah warung, agar bisa melihat Bujang Lepok dari tempat yang agak dekat.

Ajo Kutaik tidak ingin kehadirannya diketahui oleh kemenakannya itu. Kedatangannya ke Jakarta adalah untuk berobat. Sengaja ia tidak memberitahukan kedatangannya agar tidak mengganggu konsentrasi Bujang Lepok menyelesaikan perkuliahannya.

Sambil menyeruput kopi dan memperhatikan Bujang Lepok dari kejauhan, perasaan Ajo Kutaik menjadi campur aduk. Ia tidak tahu lagi, rasa kopi yang ada di depannya. Entah pahit, entah manis. Pikirannya melayang kepada biaya kuliah Bujang Lepok yang telah ia keluarkan selama ini.

Biasanya ia tidak pernah berhitung untuk kemenakannya itu. Apalagi Bujang Lepok adalah kemenakan laki-laki satu-satunya. Selama ini Bujang Lepok juga terkenal pandai, selalu menjadi juara di sekolahnya.

Makanya, Ajo Kutaik rela habis-habisan untuk pendidikan kemenakannya itu. Maklumlah, di kampungnya, di Desa Parit Membujur orang yang bergelar sarjana bisa dihitung dengan jari.

Padahal dari segi keuangan, mereka boleh dikata mencukupi. Parak kerambil mereka berhektar-hektar. Bila butuh duit, cukup panggil tukang beruk, untuk menurunkan kerambil mereka. Apalagi hasil dari laut. Ikan yang mereka dapatkan melimpah ruah. Tidak tertampung-tampung. Malahan sampai dikirim ke Padang dan daerah lainnya.

Tidak terasa hampir tiga gelas kopi dihabiskan Ajo Kutaik. Panas terik yang membakar Kota Jakarta, semakin membuat perasaan Ajo Kutaik menggelegak. Urat di kening Ajo Kutaik sudah mulai bermunculan.

Betapa tidak, ia merasa telah ditipu oleh kemenakannya sendiri. Padahal ia telah membayangkan Bujang Lepok kelak pulang dengan membawa gelar sarjana. Dan ia akan mengadakan kenduri besar-besaran menyambut kepulangan kemenakannya itu. Seluruh sanak saudara, dan orang kampung akan diundangnya, sekaligus membicarakan perhelatan anaknya.

"Hanya gelar sarjana yang kupinta darimu Bujang. Aku tidak perlu kau bekerja atau tidak. Untuk apa kau menjual cendol di Jakarta ini. Toh di kampung kita harta sudah berlebih-lebih," bisik hati kecil Ajo Kutaik kepada dirinya sendiri.

Wajah Ajo Kutaik kian menegang. Matanya mulai merah. Gerahamnya terkatup rapat menahan emosi. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti, persis di depan gerobak Bujang Lepok. Puluhan petugas Satpol PP berhamburan keluar. Para pedagang panik, berlarian menyelamatkan barang dagangannya.

Suasana menjadi gaduh. Bunyi pluit, dan teriakan para petugas Satpol PP bertalu-talu. Sementara itu Ajo Kutaik melihat kemenakannya, Bujang Lepok terperangkap dalam kepungan petugas.

 Mereka ramai-ramai mengangkat gerobak cendol Bujang Lepok ke atas sebuah mobil bak terbuka. Alat perkakas cendol Bujang Lepok berhamburan. Sejumlah kertas berterbangan dari gerobak cendol itu. Bujang Lepok segera mereka giring ke dalam sebuah mobil mirip mobil tahanan, bertuliskan Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta.

Perasaan emosi Ajo Kutaik luluh seketika. Tak sampai hati ia melihat kemenakannya diperlakukan seperti itu. Tapi apa daya, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa.

Mata Ajo Kutaik berkaca-kaca mengiringi kepergian kemanakannya bersama mobil petugas Satpol PP itu. Perlahan dipungutnya kertas yang berhamburan dari gerobak cendol Bujang Lepok tadi. Di situ tertulis, "Strategi Manajemen Pedagang Kali Lima" Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Jayaraya, oleh Lepok Sumardi.

Tangan Ajo Lepok menggigil usai membaca lembaran kertas itu. Sakit jantung yang dideritanya kambuh seketika. Ia limbung. Dunia terasa gelap. (arysastra)

Tidak ada komentar: