Halaman

Rabu, 06 Agustus 2014

Pak Tulis

By: Ary Sastra

Tiada seorangpun yang tahu, siapa sebenarnya laki-laki separuh baya itu. Ia hadir begitu saja, sebagai penghuni kos milik Haji Nawi. Lagian, selama ini tidak ada yang peduli kepada lelaki itu.

Lelaki separuh baya itu seperti angin, kadang datang, dan pergi sesukanya. Ia hanya sebagian kecil dari potret kehidupan penghuni kos-kosan yang berjibun di ibukota Jakarta.

Tidak ada yang tahu, apa pekerjaannya, siapa namanya, dan dari mana asalnya. Yang kutahu, ibu-ibu memanggilnya dengan sebutan "Pak Tulis."

Meski tergolong pendiam, Pak Tulis cukup akrab dengan kami, para tetangganya. Setiap awal bulan, ia selalu meminjam KTP ibuku. Katanya untuk administrasi pencairan honornya.

Biasanya, setiap mengembalikan KTP ibuku, Pak Tulis tidak pernah lupa membawakan oleh-oleh, berupa makanan, seperti donat, martabak, roti bakar, dan lainnya. Aku dan dua orang adikku akan berebut mengambil oleh-oleh makanan yang dibelikan Pak Tulis. Maklumlah, kami hanya keluarga miskin, yang jarang mendapat makanan seperti itu. Ibuku hanyalah seorang janda yang bekerja sebagai buruh cuci pakaian.

Selain sering membelikan makanan, Pak Tulis juga sering meminjamkan aku dan anak-anak lainnya berbagai macam buku bacaan. Lama kelamaan aku menjadi akrab dengan Pak Tulis.

Aku sering main ke kamar kos Pak Tulis hanya untuk sekadar meminjam buku buku bacaan. setiap aku datang, Pak Tulis pasti selalu asyik dengan mesin ketiknya. Entah apa yang diketiknya, akupun tak tahu.

Suatu ketika, di saat sedang asyik memilih-milih buku bacaan, Pak Tulis tiba-tiba menanyaiku. "Rif, kau punya kartu pelajarkan?"

Aku bingung dengan maksud pertanyaan tersebut. Yang jelas, aku tentunya mempunyai kartu pelajar, sebagai siswa kelas 2 SMPN 14 Jakarta. "Punya Pak. Emang buat apa Pak?" Tanyaku heran.

Pak Tulis mengulum senyum. "Mana kartu pelajarmu. Sini, biar Bapak catat dulu. Pokoknya kamu tenang saja, Saya akan besarkan kamu," teriaknya bersemangat.

Aku semakin bingung. "Lo, saya kan sudah besar Pak. Sudah kelas dua SMP," protesku.

Namun Pak Tulis kembali sibuk dengan mesin ketiknya. "Nama lengkap aku Arif Hasan kan? Ingat lo Rif, ini harus sesuai dengan kartu pelajarmu ya," tegas Pak Tulis.

Aku menerangkan namaku dengan detil. "Arif Hasan Sidik pak," jelasku.

Pak Tulis kembali mengeja namaku sambil memainkan mesin ketiknya. Akupun mulai asyik dengan bacaanku. Buku serial Wiro Sableng, menurutku lebih menarik daripada memperdebatkan soal nama dengan Pak Tulis.

Seperti biasa, setiap awal bulan, Pak Tulis akan mampir ke rumah kami untuk meminjam KTP ibuku. Namun kali ini, Pak Tulis hanya meminjam kartu pelajarku.

Akhirnya, aku tahu Pak Tulis sekarang mengganti identitas dirinya dengan memakai namaku. Pernah aku tanyakan, kenapa Pak Tulis mesti memakai identitas orang lain.

"Saya tidak punya KTP atau identitas lainnya. Makanya untuk administrasi pencairan honor tulisan saya pakai nama ibumu atau kamu," jelasnya.

"Kenapa pak Tulis tidak mengurus KTP sendiri," desakku lagi.

Wajah Pak Tulis kulihat menegang. "Aku tidak mau mengurus KTP karena keberadaanku, eksistensiku sebagai penulis tidak diakui. Coba kau lihat, mana ada di KTP itu pekerjaan sebagai penulis. Tapi kalau guru, dokter, pengacara, dan lainnya banyak. Padahal menulis itu jugakan profesi," teriak Pak Tulis dengan berapi-api.

Aku juga ikut tegang melihat ekspresi Pak Tulis. Ia melanjutkan ceritanya dengan nada yang mulai menurun.

"Dulu, saya pernah mengurus KTP waktu di kampung. Tapi saat ditanya soal pekerjaan, saya jawab penulis. Namun carik di desa saya kemudian mengisinya dengan swasta. Saya tidak mau. Saya ingin pekerjaan sebagai penulis itu di cantumkan di KTP saya. Menurut saya menjadi penulis itu juga pekerjaan yang mulia. Namun karena permintaan saya tidak diluluskan, akhirnya saya batalkan untuk membuat KTP, sampai detik ini," ungkap Pak Tulis dengan nada kecewa.

Aku menjadi terenyuh mendengar cerita Pak Tulis tersebut. Pantas saja, ia merasa bangga dipanggil Pak Tulis, dan betah tinggal puluhan tahun di Kosan Haji Nawi karena selama ini keberadaannya diakui sebagai penulis, walaupun sekadar panggilan.

"Bagiku apalah arti sebuah nama. Bagiku yang penting bisa menulis. Soal administrasi dan identitas bisa pinjam KTP orang lain," ujar Pak Tulis dengan nada getir.

Sejak kejadian itu, kami berdua semakin akrab. Seringkali Pak Tulis mengajakku berdiskusi mengenai karya-karyanya. Bahkan sampai aku kuliah, jika Pak Tulis sakit, akulah yang pergi mengambilkan honor tulisannya.

Suatu siang, sepucuk surat datang ke rumahku. Surat dari sebuah kementerian itu jelas ditujukan kepada diriku. Aku heran, karena selama ini aku tidak pernah, melamar pekerjaan, surat menyurat, atau berurusan dengan kementerian.

Dengan rasa penasaran, segera kubuka surat tersebut. Disitu tertera jelas namaku, Arif Hasan Sidik keluar sebagai pemenang lomba penulisan tingkat nasional. Aku diharapkan hadir untuk menerima penghargaan dan hadiah sebesar limapuluh juta rupiah.

Mataku langsung terbelalak mengamati nilai uang sebanyak itu. Aku ternganga tak percaya. Pikiranku langsung melayang ke Pak Tulis. "Pasti ini pekerjaanya Pak Tulis," bisik hati kecilku.

Bergegas aku ke kamar kos Pak Tulis. Namun kudapati pintu kamarnya terkunci rapat. Kugedor pintu tersebut, sambil berteriak. "Pak, Pak Tulis, Pak Tulis ada surat dari kementerian nih. Karya Bapak keluar sebagai pemenang," teriakku.

Karena tak ada jawaban, langsung saja aku tekan gagang pintunya. begitu terbuka, kulihat Pak Tulis sedang tidur dalam posisi menelengkup di atas meja kerjanya. Selembar kertas masih terpasang di rol mesin ketiknya.

Langsung saja aku sentuh pundaknya. Kuulangi memanggil namanya. Karena tidak jawaban, kembali aku goyang tubuh lelaki tua itu.

Namun aku terperanjat, ketika tubuh Pak Tulis langsung jatuh rebah ke lantai. Aku langsung berteriak histeris. Para tetanggapun berdatangan.

Tubuh Pak Tulis ternyata telah dingin dan kaku. Aku seakan tak percaya. Berkali-kali aku memanggil namanya. Semuanya menjadi gelap.

Kepergian Pak Tulis membuat aku kehilangan sahabat, orangtua, sekaligus guru. Hampir setiap hari aku selalu mengunjungi makamnya yang letaknya tidak jauh dari rumah kami. Para tetangga dan Pak RT sepakat untuk menguburkan jasad lelaki tua itu karena tidak ada sanak saudaranya yang dapat dihubungi.

Seminggu menjelang penerimaan penghargaan dan hadiah lomba penulisan tingkat nasional, sejumlah wartawan mendatangi rumahku. Mereka meminta kesediaanku untuk wawancara.

Aku bingung. Apa yang hendak aku jawab. Namun jelas di karya tersebut tertera namaku. Aku tidak bisa mengelak. Aku mencoba menjawab pertanyaan dari para wartawan itu semampuku.

Aku baru menarik nafas lega setelah para wartawan itu pergi. Namun keesokan harinya, rumahku diserbu para tetangga. Mereka membawa koran dan majalah yang memajang wajahku. "Wah Mas Arif hebat. Juara menulis tingkat nasional. Hadiahnya pasti gede tuh. Tidak sia-sia selama ini Mas Arif dekat dengan Pak Tulis," puji Ratna, tetanggaku.

Deg, jantungku seakan berhenti, ketika ia menyebut nama Pak Tulis. Bagaimanapun aku tidak bisa menolak, tulisan tersebut adalah karya Pak Tulis. Hati kecilku berontak. Aku harus berani mengatakan bahwa itu bukan karyaku. Aku harus mengadakan komprensi pers.

Ketika semua wartawan sudah hadir, dengan tenang aku katakan bahwa tulisan tersebut bukan karyaku, tapi adalah karya Pak Tulis. Tapi tidak ada satupun dari wartawan tersebut yang percaya dengan keteranganku.

"Ah Mas Arif yang benar aja. Buktinya selama ini banyak tulisan Mas Arif yang terbit kok. Jangan aneh-anehlah Mas," celetuk seorang wartawan.

Aku kembali meyakinkan para wartawan tersebut. Tapi mereka tetap tidak percaya. "Biasalah, tingkah penulis itu memang aneh-aneh," ujar mereka tertawa.

Keesokan harinya, foto dan profil lengkapku kembali bermunculan di berbagai media cetak. Selain itu para kritikus juga mulai membicarakan tentang diriku. Aku menjadi semakin terkenal. (arysastra)

Tidak ada komentar: