Halaman

Kamis, 21 Agustus 2014

Nyanyian Ayah

by : Ary Sastra

Ayahku hanyalah seorang pegawai kecil di sebuah instansi pemerintah. Sebagai pegawai kecil, tentunya gaji ayahku kecil pula. Maklumlah, ayahku cuma lulusan SMA.

Jabatan tertinggi yang pernah diduduki oleh ayahku, adalah Kepala Bagian Tata Usaha. Itupun diperolehnya karena pengalamannya, setelah lebih dari tigapuluh tahun mengabdi.

Setiap bulan ayah selalu membawa jatah beras dari kantornya ke rumah kami. Kami tinggal di sebuah rumah sederhana, yang dicicil ayah ke bank BTN setiap bulannya.

Selama menjadi pegawai, ayahku pernah memiliki sepeda motor merek Suzuki. Kendaraan itu kemudian dijual setelah beliau mendapat jatah sepeda motor plat merah, Honda CB 100.

Dengan kendaraan itulah, ayah mengantarkan enam anaknya pergi ke sekolah setiap pagi. Kakakku, aku dan adik perempuanku bersekolah di dekat rumah nenek, yang jaraknya sekitar 15 kilometer dari rumah kami. Sedangkan tiga adikku lagi, jarak sekolahnya tidak begitu jauh dari rumah kami.

Meski demikian ayah selalu selalu setia mengantarkan semua anak-anaknya untuk bersekolah. Mulanya ayah akan mengantarkan tiga adikku, yang jarak sekolahnya relatif dekat. Kemudian barulah tiga anaknya lagi, yaitu aku, kakakku dan adik perempuan sembari ayah juga berangkat ke kantornya.

Kami berboncengan empat. Aku duduk di depan, di tangki sepeda motor, sedang adik dan kakakku di belakang.

Ayah akan menjemput kami kembali sesudah pulang dari kantornya. Ia tidak khawatir karena kami bisa menunggu di rumah nenek. Biasanya ayah akan menjemput kami sekitar pukul tiga atau empat sore.

Dulu, sebelum memiliki rumah, kami tinggal di rumah nenek. Waktu itu anak ayahku masih tiga, yaitu aku, kakakku, dan adik perempuanku. Sedangkan tiga adikku yang lain, lahir setelah ayah mencicil rumah kreditan. Makanya sekolah aku, kakakku, dan adik perempuanku tak jauh dari rumah nenek.

Setelah tamat SD, aku sudah jarang dibonceng ayah dengan sepeda motornya. soalnya, aku diterima di SMP Negeri yang jaraknya hanya sekitar satu kilometer dari rumah nenekku. Jadinya, aku tinggal bersama nenekku lagi.

Sampai aku diterima di sebuah perguruan tinggi negeri, aku masih tinggal bersama nenek. Meski demikian ayah selalu datang menanyakan perkembangan kuliahku dan memberi uang jajan.

Meski gaji ayah kecil, segala kebutuhan pendidikan kami tetap dipenuhinya. Sebab ayahku mempunyai profesi sampingan yaitu sebagai penyanyi. Terkadang pemasukan ayahku dari menyanyi melebihi gajinya sebagai pegawai negeri.

Ayahku sering diminta menjadi pelatih paduan suara untuk ibu-ibu dharma wanita, atau kelompok-kelompok tertentu. Malahan ayahku sering menjadi juri pada event-event tertentu. Namun sayang, hobi dan kesukaan ayahku itu tidak bisa dilanjutkan karena pekerjaannya sebagai pegawai negeri tidak bisa ditinggalkan.

Terkadang ayahku masih sering tampil, di luar jam kantornya atau pada malam hari. Aku sering diminta menemaninya hingga larut malam. Biasanya seusai acara, sebelum pulang kami selalu singgah untuk makan di sebuah kedai nasi dekat pasar.

Setiap berjalan dengan ayah, selalu saja ada orang yang menyapa atau menyalaminya. Ayahku memang banyak kawan, dan dikenal orang. Apalagi profesinya sebagai penyanyi yang sering mendampingi artis-artis ibukota.

Kalau dilihat dari tampang, rasanya ayahku tidak cocok jadi pegawai. Ayahku gagah, punya kumis dan jambang yang tebal. Sorot matanya tajam, mirip bintang film India. Bila sudah bernyanyi, semua orang pasti akan terpukau mendengar suaranya.

Bakat menyanyi dari ayah tersebut, menurun kepada semua anak-anaknya. Kami, semua anak-anaknya memiliki suara yang merdu dan pandai menyanyi. Sayangnya, tidak satupun di antara anak-anaknya yang menekuni bidang tarik suara ini.

Waktu kecil aku memang sering ikut festival atau lomba menyanyi. Aku bahkan pernah menjadi suara porseni bidang solo song dan paduan suara. Sering juga aku diajak ayah, nyanyi berduet untuk mengisi acara tertentu.

Masih terbayang olehku, bagaimana kami berdua memukau penonton di auditorium RRI, saat menyanyikan lagu "Babuai" ciptaan ayahku sendiri. Lagu itu memang diciptakan ayah untuk menidurkan anak-anaknya.

Saat itu, kami berbagi suara. Ayah pada suara satu sedangkan aku pada suara dua. Tepuk tangan membahana saat lagu yang kami nyanyikan berakhir. Aku betul-betul bangga pada saat itu.

Kebanggaan tersebut masih aku rasakan sampai saat ini. Meski hampir lima belas ayah pergi meninggalkan kami, suaranya, nyanyiannya masih terngiang di telingaku.

Sesekali aku masih menyanyikan lagu "Babuai" ciptaan ayah. Tak lupa sepotong doa kuselipkan untuk ayah, Al Fatihah....(arysastra)

Tidak ada komentar: